Pada saat latihan meditasi untuk menenteramkan pikiran liar, kita membuat pengalihan energi dengan cara memperhatikan napas masuk dan napas yang keluar. Dengan sebagian energi pikiran yang terpecah pada memperhatikan napas, pikiran mulai tenang. Setelah beberapa lama pikiran kita beri tugas pula untuk memperhatikan kembung dan kempisnya perut.
Kemudian, setelah lebih tenang, saat menarik napas kita ucapkan dalam hati, “Aku mendapatkan berkah dari semesta” lalu saat membuang napas kita ucapkan, “Dan aku berbagi berkah dengan sesama dengan semua.” Dalam keadaan tenang muncul rasa bahagia yang datang dari dalam diri
Sumber buku (Krishna, Anand. (2016). Soul Awareness, Menyingkap Rahasia Roh dan Reinkarnasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Apa sajakah 5 berkah dari alam semesta? Leluhur kita menyebut “berkah” tersebut sebagai hutang berkah (Rina) yang harus kita bayar. Interaksi atau hubungan dengan dunia tidak dapat dihindari. Para bijak jaman dulu mengaitkan interaksi atau hubungan tersebut dengan “utang” yang harus dibayar. Ada 5 macam hutang atau Rina yaitu:
1. Deva Rina
yaitu utang terhadap Dewa. Yang dimaksud dengan Dewa adalah Kemuliaan, Kesadaran, Pencerahan, karena kata “dewa” sendiri berasal dari “divya”, yang berarti “yang mulai, yang terang, yang berasal dari cahaya”. Elemen-elemen alami seperti api, air, angin, tanah dan ruang juga disebut dewa. Api bersifat membakar. Ia membakar habis segala macam sampah. Air membersihkan. Angin sangat ringan dan dapat menyusup kemana-mana. Ia juga memberi kehidupan. Tanah menopang beban kita semua. Dan tanpa ruang kita tidak dapat eksis. Kekosongan, kehampaan, kesendirian, space atau apa pun sebutannya, menciptakan peluang untuk diisi.
Belajar dari sifat-sifat alami itu adalah utang pertama yang harus dibayar. Belajarlah untuk membakar sampah pikiran , gejolak emosi dan sifat-sifat yang tidak menunjang evolusi batin kita. Belajarlah untuk menjaga kebersihan kebersihan pikiran, perasaan dan sebagainya. Belajarlah untuk hidup sederhana, ringan dan tidak menjadi beban pada siapa pun jua. Belajarlah untuk membantu, untuk melayani.
Bumi dieksploitasi; isi perutnya dijarah, namun ia tetap memberi. Kita menginjak-injaknya; ia tidak berkeluh-kesah.
Terakhir, jadilah seperti ruang. Ya, ruang kosong yang selalu akomodatif. Tidak hanya perabot yang baru dibeli, tetapi mebel lama pun diterimanya. Dan semua itu tidak mempengaruhi kekosongannya. Terimalah suka dan duka secara saksama.
Deva Rina juga berarti utang terhadap kemuliaan di dalam diri dan di luar diri. Buatlah sebuah diary pribadi; setiap sore lakukan dialog dengan diary itu, “Apakah aku melakukan sesuatu yang mulia sepanjang hari ini? Apakah aku membantu, melayani tanpa mengharapkan imbalan?”
Banyak hal saya lakukan semata untuk kenikmatan sesaat; itu pun bagi diri sendiri. Makan, minum, tidur, seks — semua itu hanya menyenangkan bagi diri sendiri. Sepanjang hari, saya hanya melayani diri sendiri… lebih tepat lagi, “badan” saya saja. Saya tidak tahu apakah itu juga pengalaman Anda. Marilah bertanya, “Adakah aku memperhatikan kebutuhan jiwaku?” Kebutuhan badan, kebutuhan jiwa, kebutuhan diri, kebutuhan tetangga, kebutuhan negara, kebutuhan dunia — semuanya — harus diperhatikan dan dilayani dengan baik. Itulah kemuliaan. Itulah utang terhadap kemuliaan yang harus dihayar.
2. Pitra Rina
yaitu utang terhadap leluhur, atau barangkali lebih cepat “utang terhadap keluarga”. Saya mengartikannya demikian, karena keluarga adalah kontinuitas dari leluhur, dan leluhur adalah keluarga.
Banyak orang meninggalkan keluarga dan menjadi petapa. Mereka mengaku tidak terikat lagi dengan keluarga, tetapi menciptakan keterikatan baru pada institusi yang mereka pimpin, pada orang-orang di sekitarnya yang dianggapnya sebagai “murid”.
Dengan meninggalkan rumah, kita tidak dapat memutuskan hubungan dengan dunia. Hubungan kita dengan dunia tidak pernah putus. Jika kita tidak menyelesaikan utang kita terhadap keluarga, kita akan dituntut untuk menyelesaikannya terhadap keluarga yang lebih besar — dunia ini.
Para mesias dan buddha juga meninggalkan rumah, tetapi lain mereka, Iain kita. Kita melarikan diri dari tugas dan tanggung jawab, sementara mereka memikul tugas dan tanggung jawab yang lebih besar, lebih berat.
Para mesias dan buddha juga meninggalkan rumah, tetapi lain mereka, Iain kita. Kita melarikan diri dari tugas dan tanggung jawab, sementara mereka memikul tugas dan tanggung jawab yang lebih besar, lebih berat.
Kita melalaikan tugas dan tanggung jawab terhadap “satu keluarga”. Mereka mengambil-alih tugas dan tanggung jawab “keluarga besar umat manusia”.
Dalam salah satu tradisi di India, seorang petapa dilarang untuk “buka mulut” tentang apa yang diinginkannya, tetapi tidak ada Iarangan bagi lirikan, maka ia menggunakan kedua matanya untuk meminta apa yang diinginkannya. Ia akan melirik pada apa yang diinginkannya, dan sinyal itu sudah cukup bagi para muridnya. Mereka akan langsung menyediakan apa yang dia lirik itu. Repot sekali bila Anda harus menjamu seorang petapa seperti itu. Anda harus menyuguhinya dengan berbagai macam sajian, kemudian menunggu isyaratnya. Menunggu lirikan matanya, apa yang dimauinya.
Kembali pada tugas dan kewajiban terhadap keluarga, Pitra Rina: apa yang kita lakukan itu adalah tugas kita, kewajiban kita, utang kita. Kita sedang melunasi sesuatu. Janganlah mengharapkan apa-apa dari pekerjaan kita, maka kita akan terbebaskan dari rasa kecewa. Kita tak akan pernah kecewa.
Jadilah seorang pelayan. Layanilah keluarga Anda sebagaimana orangtua Anda pernah melayani Anda. Semangat pelayanan inilah yang semestinya berada di balik pelunasan Pitra Rina.
Janganlah mengharapkan sesuatu dari anak-anak Anda. Di usia senja Anda, jika mereka masih mau melayani Anda, bersyukurlah untuk itu, tetapi janganlah sekali-kali mengharapkan sesuatu dari mereka.
3. Rishi Rina
yaitu utang terhadap para bijak, atau terhadap kebijaksanaan itu sendiri. Cara kita melunasi setiap utang haruslah kita bersikap bijak. Cara kita menangani setiap persoalan harus bijak. Cara kita melayani hidup harus bijak. Dan nilai kebijakan tertinggi adalah : “Aku senang, kau pun harus senang. Aku bahagia, kau pun mesti bahagia. Berarti, aku tidak dapat mengabaikan kepentinganmu demi kepentingan diri.”
Tentu saja, kita tidak dapat membuat senang atau membahagiakan setiap orang. Mau berbuat apa saja, pasti ada yang senang, ada yang tidak, tetapi setidaknya kita tidak mencelakakan orang Iain. Inilah sikap bijak.
Komitmen kita terhadap non-violence atau non-injury, tidak melakukan kekerasan, tidak menyakiti dengan sengaja adalah kebijaksanaan.
Pelunasan utang yang satu ini menuntut kewaspadaan kita setiap saat. Kita juga harus sadar bahwa no man is an island. Kita tidak bisa hidup seperti pulau terpisah. Interaksi antar manusia tidak dapat dihindari, maka kita harus mengernbangkan sikap gotong-royong, bantu-membantu, bahu-membahu.
4. Nara Rina
yaitu utang terhadap sesama manusia. Kita tidak dapat berdiri sendiri. Apa yang saya lakukan berdampak terhadap Anda, dan sebaliknya. Semacam ripple effect, efek riak, satu kerikil yang saya lemparkan ke sungai berdampak hingga tepi sungai itu, Walau kita tidak melihatnya.
Para resi jaman dahulu melangkah lebih jauh lagi, “Pencerahan yang diperoleh seorang manusia, kesadaran seorang manusia, juga berdampak terhadap seluruh umat manusia di jamannya.”
Seorang manusia yang tersadarkan dapat menyelamatkan seluruh umat manusia! Siddhartha seorang diri dapat menjadi cahaya bagi seluruh dunia. Isa seorang diri dapat mengubah sejarah peradaban manusia. Muhammad seorang diri mengantar dunia ke era baru.
Karena itu, melayani sesama manusia menjadi suatu keharusan. Adalah tugas, kewajiban serta tanggungjawab kita untuk memperhatikan sesama manusia. Jika Tetangga tidak bisa tidur karena lapar, energinya yang terganggu itu sudah pasti mempengaruhi pola energi di rumah kita.
Sebab itu, melayani sesama manusia tidak perlu dikait-kaitkan dengan agama dan kepercayaan. Melayani sesama manusia adalah kewajiban; dan mutlak sifatnya. Penggunaan istilah “membantu” pun sesungguhnya tidak tepat. Saya tidak dapat membantu; memangnya siapakah diriku? Saya hanya dapat melayani. Dengan melayani orang lain, sesungguhnya kita melayani diri. Nah, di sini boleh menggunakan istilah “membantu”… kita membantu diri sendiri.
5. Bhuta Rina
yaitu utang terhadap lingkungan. Jauh sebelum ilmuwan modern mulai memperhatikan lingkungan, flora dan fauna, jauh sebelum mereka mencetak istilah baru eco system, para bijak sudah memaparkan, menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungannya.
Sekadar menjaga kebersihan lingkungan saja tidak cukup, kita harus melestarikan alam. Merawat flora dan fauna. Jaman dulu, manusia tidak bisa seenaknya menebang pohon. Adat menentukan usia pohon yang dapat ditebang. Itu pun untuk keperluan tertentu. Ketentuan adat berlaku, Walau puhon itu berada di atas tanah kita sendiri. Kita memiliki tugas, kewajiban serta tanggungjawab terhadap kelstarian alam. Jangan mencemari air dan udara. Berhati-hatilah dengan penggunaan energi. Jangan mengeksploitasi bumi seenaknya. Gunakan ruang yang tersedia, juga tanah yang tersebuda secara bijak.
Sumber buku (Krishna, Anand. (2007). Life Workbook Melangkah dalam Pencerahan, Kendala dalam Perjalanan, dan Cara Mengatasinya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Kommentare