top of page
Cari

Seni Memimpin Diri

Diperbarui: 13 Jul 2022


Anand Krishna selalu memandang segala sesuatu secara holistik, begitu juga dengan pemimpin. Dimana seorang pemimpin harus memiliki pandangan holistik dan mampu memimpin dirinya sendiri. Di dalam buku “Ananda’s Neo SELF – LEADERSHIP – Seni Memimpin Diri bagi Orang Modern” Anand Krishna memberikan pandangan terkait dengan kepemimpinan diri, bagi Anda yang tertarik untuk mengetahuinya berikut ini sedikit kutipan dari buku tersebut


Apakah kelemahan kita: Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri sebagai bangsa, sehingga kita sebagai bangsa penjiplak lagu luar negri, Kurang mempercayai satu sama lain, Padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong.” Bung Karno - Pidato Hut Proklamasi 1966

Seorang Pemimpin Sejati tidak takut menghadapi orang-orang yang berpandangan lain, berpandangan berbeda, bahkan yang berseberangan dengan dirinya, karena ia percaya diri. Karena ia mengetahui kekuatan dan kelamahan dirinya. Ia tidak menjadi sombong karena kekuatannya, dan tidak pula menjadi minder karena kelamahannya. Inilah viri seorang Pemimpin Sejati !


Ia senantiasa berusaha untuk belajar dari setiap orang, dan tidak keras kepala. Ia tidak takut mengubah pandangannya jika memang terbukti bahwa pandangan lain lebih tepat atau lebih baik.


Mereka yang tidak bisa menerima perbedaan pandangan dan perspektif – apalagi yang memaksakan kehendaknya dengan berbagai cara, termasuk dengan cara-cara penuh kekerasan dan fitnah – sesungguhnya sudah membuktikan ketidakmampuannya untuk menjadi pemimpin.


Selama bertahun-tahun karya-karya Bung Karno tidak pernah dicetak ulang. Bahkan kumpulan pidatonya dengan judul Di Bawah Bendera Revolusi pernah menjadi buku langka dan dijual dengan harga yang sangat tidak masuk akal. Mengapa?


Karena Soekarno dianggap Marxis oleh sebagian masyarakat dan Karl Marx selalu dikaitkan dengan komunisme. Kita tidak mau mengambil resiko menjadi tidak popular, maka enggan menjelaskan kepada sebagian masyarakat yang salah paham, dan bahkan barangkali belum pernah membaca karya-karya Karl Marx, bahwa Marxisme tidak sama dengan komunisme. Dan, bahwa Soekarno mengagumi pandangan-pandangan Marx, maka pada saat yang sama dia pun mengaku sebagai agamis dan nasionalis.


Seoarang Pemimpin sejati tidak pernah gegabah mengecap seeorang sebagai komunis, kafir, ateis, anti nasionalis, dan sebagainya. Kendati tidak bisa menerima pandangan orang tersebut, ia akan tetap menghormatinya sebagai manusia, sebagai sesama mahluk Hyang Maha Kuasa.


Dalam kutipan di atas, Bung Karno menjelaskan apa jadinya jika kita tidak percaya diri. Seseorang yang tidak percaya diri tidak bisa memercayai orang lain. Dia tidak mampu bekerja dalam satu tim. Apalagi menjadi pemimpin!


Celaka jika seseorang yang tidak percaya diri seperti itu bernafsu besar untuk menjadi pemimpin. Celaka jika ia baru membaca beberapa buku ala The Secret dan terbawa oleh dongeng-dongeng Law of Attraction, kemudian bernafsu besar untuk menjadi pemimpin. Maka, mau tak mau, seperti kata Bung Karno, dia akan menjiplak apa saja yang dianggapnya gampang untuk dijiplak, dan berpretensi sebagai pemimpin!


Ah, soal jiplak-menjiplak dan contek-mencontek… Kata kawanku, Hola, ”seorang penyontek dan penjiplak pun sesungguhnya nggak bodoh-bodoh banget. Kamu pikir setiap orang bisa menjiplak dan menyontek? Tidak, tidak bisa, itu butuh jiwa seni.


“Sekarang,” Hola berpendapat, “mana ada penyontek dan penjiplak tulen? Itu zaman doeloe. Sekarang mah tinggal cut and paste. Nggak pake seni lagi. Nggak usah puter otak lagi. Kalau menjiplak dan menyontek, masih pake otak, Bung.”


Betul juga. Dulu, seorang anak SD yang mau menyontek pun masih malu-malu, sembunyi-sembunyi, sedangkan sekarang tanpa malu-malu dan sembunyi-sembunyi lagi. Cut and paste tanpa rasa malu, tanpa harus sembunyi. Di depan umum!


Seseorang yang merasa dirinya sebagai guru spiritual mengambil beberapa bagian – sungguhnya belasan halaman – dari salah satu buku saya, dan menerbitkannya di dunia maya tanpa memberi kredit apa pun.


Ketika saya tegur lewat e-mail, dia tidak merespon, seolah-olah dia tidak menerima e-mail saya. Terpaksa, saya menulis komentar di blognya. Beberapa hari kemudian, tanpa menjawab, tanpa meminta maaf, dia menarik tulisannya. Setidaknya saya tidak bisa mengaksesnya lagi. Perkara selesai?


Itu beberapa tahun yang lalu.


Baru-baru ini dia melakukan hal yang sama. Saya menegurnya melalui seorang teman yang juga berteman dengan dia, “Setidaknya minta izin, memberi kredit…”


Apa jawabannya? “Kalau dia seorang spiritualis tidak akan mempersoalkan hal sepele seperti itu.” Hmmmm, dan dia sebagai spiritualis boleh seenaknya melakukan plagiarism? Dan, dia adalah guru spiritual, setidaknya demikian pengakuannya, bagi banyak orang. Tidak percaya diri, menjiplak, ooops, melakukan cut and paste, dan tetap arogan! Tidak, seorang pemimpin tidak seperti itu.


Pelaku cut and paste di atas masih boleh dibilang kurang profesioanal, kurang punya nyali, atau memeang tidak menguasai bahasa Inggris, sehingga dia tidak mencari sumber di luar. Atau, memeang super nasionalis, sehingga anti sumber dari luar atau sumber asing. Entahlah.


Hola, temanku, merasa mengetahui alasannya, “Pinter dia, kalau cari sumber dari luar, dia mesti menerjemahkan lagi. Untuk apa menyusahkan diri? Kenapa mesti repot? Ambil dari bukumu saja, sudah dalam bahasa Indonesia, nggak perlu diterjemahkan segala.”


Itu namanya pinter?


Ya sudah Hola, siapa mau cari rebut.


Ada Juga para pemimpin dari suku abal-abal. Mereka adalah pemimpin pseudo, palsu tapi sok asli. Mereka suka pamer – pamer baju bermerek, ijazah walau palsu, posisi, status, apa saja yang bisa dipamerkan.


Ada yang merasa bangga kalau anaknya lulusan salah satu universitas di Amerika, Inggris, atau Negara lain yang dianggapnya lebih maju, lebih kaya, lebih dalam segala hal. Padahal kekacauan ekonomi di negara-negara tersebut juga disebabkan oleh para ekonom lulusan universitas-universitas bergengsi yang sama!


Silakan pergi ke mana saja untuk menimba ilmu. Tapi, tidak perlu pamer. Tidak perlu menggadaikan cinta terhadap Ibu Pertiwi, terhadap Tanah Air, demi kepingan perak dan emas yang Anda peroleh dengan bekerja di luar negeri.


Mereka yang menggadaikan cinta mereka terhadap Ibu Pertiwi demi uang, demi harta, demi kenyamanan hidup adalah orang-orang yang tidak percaya diri. Mereka lebih percaya pada segala fasilitas yang membuat hidup mereka lebih nyaman.


Adakah kita dapat melupakan kehangatan pangkuan ibu kita, ibu yang melahirkan kita, ibu yang menyusui kita – Ibu Kandung maupun Ibu Pertiwi – demi uang, demi harta, demi segala kenyamanan hidup?


Demikian pula dengan budaya asal kita, nilai-nilai luhur dari peradaban kita; kita tidak bisa melupakan semua itu demi kepingan logam!



Sebuah Renungan


Seseorang yang menganggap Indonesia sebagai tanah airnya “saja” belum berhubungan batin dengannya. Hubungannya masih bersifat materi murni. Tanah dan air, dua-duanya adalah materi. Hari ini dia masih tinggal di Indonesia dan mendapatkan keduanya di sini, maka dia loyal terhadap Indonesia. Tapi besok belum tentu!


Besok jika dia berpindah ke Negeri Paman Sam, mendapat sejengkal tanah di sana dan minum dari sumur di sana, maka loyalitasnya pun bisa berpindah.


Tanah air bisa berubah…adalah ibu Pertiwi yang tidak pernah berubah. Seseorang yang mencintai tanah airnya sebagai wujud Ibu Pertiwi, yang sesungguhnya adalah Bunda Alam Semesta, tidak akan pernah pindah loyalitas.


Berpindah ke mana pun juga; minum dari sumber yang mana pun juga, Ibu tetaplah Ibu.


Dan, Seseorang yang mencintai Ibunya tak akan rela melihat dia dilecehkan atau diperlakukan dengan cara yang tidak sopan.


Bagiku surga adalah ladang-ladangnya – sawah dan kebun Ibuku. Kepercayaan adalah kesetiaanku padanya, pada Ibuku. Pengabdian adalah melayani anak-anaknya, saudara-saudaraku “sekandungan”. Dan, sopan santun adalah menghormati setiap tamunya, tamu Ibuku. Inilah budayaku.


Budaya seperti itu, seorang anak tidak akan tega menjual asset-aset ibunya, perhiasannya demi kepentingan jangka pendek. Ia justru akan bekerja keras untuk menambah apa yang sudah dimiliki Ibunya.


Ia tidak akan mencemari nama baik Ibu dengan berkolusi dan berkoalisi bersama para pedagang yang tidak beradab, tidak berbudaya. Ia tidak bisa disuap, digoda, dan dirayu untuk menggadaikian Ibunya sendiri.


Ibu Pertiwi, lagi-lagi bagiku, adalah wujud nyata kasih Gusti. Aku melihat wajah Gusti dalam setiap relungan ombak di geraian rambutnya. Aku mendengar suara Gusti pada embusan angin yang membelai wujudnya.


Aku melihat wajah Gusti dalam diri setiap putra yang mencintainya. Aku menemukan ayat-ayat Gusti bertebaran di mana para petani mencucurkan keringat mereka; di lorong-lorong sempit di mana putra-putrinya terkadang harus tidur dengan perut kosong; di jalan-jalan raya di mana mereka yang berhasil dan berkendaraan kadang lupa menghormati para pejalan kaki.



Saya yakin, dan yakin betul bahwa cara termudah untuk menumbuhkembangkan percaya diri adalah dengan terlebih dahulu mengapresiasi akar budaya kita sendiri dan menghormati asal-usul kita.


Sebab akar budaya kita, asal-usul kita, sejarah panjang kita selama ribuan tahun, dan bukan sekedar beberapa ratus tahun atau beberapa puluh tahun terakhir, adalah bagian dari diri kita. Semua itu yang sesungguhnya membentuk kepribadian kita.


Bagaimana bisa percaya diri tanpa memercayai kekuatan akar kita sendiri? Bagaimana bisa tumbuh tanpa kekuatan akar itu? Bagaimana bisa mandiri jika tidak berdiri di atas kaki sendiri? Untuk apa meminjam alat bantu dari orang lain, padahal kita memiliki sepasang kaki sendiri?


Yakinlah kekuatan diri Anda!



"Sumber : Ananda’s Neo SELF – LEADERSHIP – Seni Memimpin Diri bagi Orang Modern"



Postingan Terkait

bottom of page