top of page
Cari

O Pendidikan, Nasibmu…

Diperbarui: 25 Mar 2022

“Jenis sekolah biasa adalah seperti pabrik dengan metode disiplin (sistem pendidikan) yang dirancang khusus untuk menciptakan hasil yang seragam”


Rabindranath Tagore (1861-1941) Penyair, Musisi, Pendidik, dan Peraih Hadiah Nobel Pertama di Asia



Beberapa waktu yang lalu, saya melihat beberapa billboard besar dari satu universitas yang sama di salah satu ibukota provinsi. Iklannya tentang apa saja yang dapat dipelajari di universitas itu. Ditambah dengan penegasan dengan ukuran font terbesar, Sold Out – Sudah Terjual.

Bukan universitasnya yang terjual – bukan pula rektor, para wakil, para direktur, para dosen maupun mahasiswanya. Yang terjual habis, demikian arti kata Sold Out, adalah kesempatan mendaftar bagi para siswa baru.


Dasar usil, saya mencari-tahu dari perusahaan iklan yang memasang banner tersebut, “Kalau sudah sold out, kenapa masih pasang iklan? Barangkali saya punya relasi yang mau memasang iklan di tempat yang sama.


“Oh, Bisa, Bisa Pak, dua minggu lagi tempat itu sudah kosong, dan kita bisa menawarkan kepada relasi Bapak,” – jawab Direktur Marketing dari perusahaan tersebut. Ternyata pihak universitas sudah membayar di muka untuk beberapa bulan, masih ada sisa 20an hari, sementara bangku kuliah sudah terjual habis, maka dibuatkanlah banner pengganti dengan tulisan tambahan Sold Out!


Anehnya, saya mau bicara dengan bagian sales, disambungkan dengan direktur marketing, yang sesungguhnya bekerja sebagai salesman – ya, tapi itu cerita lain lagi. Dalam tulisan ini, kita tidak membahas perbedaan antara sales dan marketing.


Komoditas

Yang sedang kita bicarakan adalah tulisan Sold Out. Renungkan: Bagi pemilik yayasan, rektor, dan administrasi universitas tersebut, bangku kuliah adalah komoditas untuk diperjualbelikan. Sama seperti kulkas, televisi, kendaraan bermotor, bahkan karcis bioskop, atau barang lain apa saja. Sehingga pemilihan kata-katanya pun sama Sold Out – sudah terjual habis.


Entah sudah berapa ribu, atau bahkan berapa puluh ribu orang yang membaca billboard itu, dan menganggap pilihan kata-kata sold out sebagai sesuatu yang lumrah, wajar, biasa – lha apa anehnya?


Anehnya adalah bahwa pendidikan kita saat ini sudah menjadi komoditas. Sebab itu, tidak aneh bahwa perguruan-perguruan tinggi tanpa visi. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Tagore di atas, telah menjadi pabrik untuk mencetak jenis sarjana yang seragam.


Ketika pendidikan menjadi komoditas, maka pabrik yang menghasilkan komoditas itu mesti efisien. Tidak perlu memperhatikan setiap siswa secara khusus, semuanya dipukul rata saja. Biar, jumlah produksi meningkat, kualitas seragam – dan, seusai satu batch, bisa memproduksi batch berikutnya.


Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara, yang adalah sohib Tagore. Bahkan pernah mengundangnya ke Jawa. Pernah memberikan semboyan-semboyan seperti: Lawan Sastra Ngesti Mulya – Menuju Kemuliaan dengan Sastra, dengan Ilmu. Dan, Suci Tata Ngesti Tunggal – Menuju Kesempurnaan/Persatuan dengan Kesucian Diri dalam pengertian seluas-luasnya. Suci batin, suci pikiran, suci perasaan, suci dalam pelaksanaan, ucapan, dan sebagainya.


Membebaskan

Bagaimana bisa meraih kesempurnaan, persatuan, dan kesucian seperti yang didambakan oleh Bapak Pendidikan kita, jika pendidikan di redusir menjadi komoditas.


Bagaimana mengharapkan sesuatu yang mulia dari sekolah-sekolah yang berlomba lewat Education Bazaar, dalam Pasar Pendidikan, ya, bazaar itu berarti pasar. Bagaimana pula menyikapi sekolah-sekolah yang menawarkan promo, hadiah, dan potongan harga?


Ya, potongan harga. Ada yang membalutnya dengan kata keren dalam ejaan bahasa Inggris discount. Ada juga yang berterus-terang, tanpa pembalut ‘potongan harga’.


Demi Bapak Pendidikan Nasional Kita, demi pendidikan bebas dan membebaskan, sebagaimana Beliau impikan. Marilah kita bersama-sama membebaskan pendidikan dari komersialisasi. Tidak membiarkan pendidikan menjadi komoditas untuk diperjualbelikan.


Perlu upaya mencerdaskan masyarakat secara kolektif, tanpa membuang waktu lagi. Tidak bisa alon-alon asal kelakon. Rumah sedang terbakar, marilah kita menyelamatkan diri, menyelamatkan keluarga, anak dan saudara; dan kalau bisa menyelamatkan sisa apa saja yang belum terbakar.

*Anand Krishna, Humanis Spiritual, Penulis lebih dari 170 buku, Pendiri Anand Ashram (www.anandkrishna.org)

8 tampilan0 komentar

Postingan Terkait

bottom of page