Sejodho, Separo, Gela Gelo!
Anand Krishna*
Baru-baru ini saya menemukan pepatah menarik dalam bahasa Jawa dari salah satu posting di facebook: “Wong Cina kari sejodho, wong Jawa kari separo, walandane gela gelo.” Artinya kira-kira: “Orang Chinese (Tiong Hoa) tinggal sejodoh (komplit/genap/utuh) – jatidirinya masih utuh. Orang Jawa (Zao Hua) tinggal separo (tidak utuh, ora jangkep, hilang Jawanya karena tidak bisa mengenali jati dirinya lagi…..). Orang Belanda hanya bengong melihat kenyataan ini.”
Pepatah dari leluhur kita ini – tentunya orang-orang Jawa juga – merupakan hasil renungan mereka. Bisa subjektif, bisa juga objektif. Silakan menafsirkannya sendiri. Yang menarik adalah kenyataan bahwa leluhur kita bisa mengkritisi diri, bisa menertawakan diri, bisa melihat kesalahan dan kelemahan di dalam dirinya. Sesuatu yang jarang terjadi di zaman now. Jangankan melakukan perenungan, jika ada yang berbaik hati dan mengoreksi kita demi kebaikan kita sendiri – malah tersinggung.
Tidak demikian dengan leluhur kita. Mereka tidak tersinggung. Bahkan, tidak perlu menunggu orang lain untuk mengoreksi – mereka bisa mengorek diri sendiri. Bisa mencari kelemahan dan kekurangan diri serta mengoreksinya.
Nilai Unggulan
Kembali pada pepatah di atas: Bagi saya urusannya bukanlah Orang Chinese, Jawa, dan Belanda, tetapi apa yang mereka wakili dalam pepatah tersebut. Orang Chinese dalam pepatah tersebut mewakili mereka semua yang tidak pernah lupa akan jati dirinya, asal usulnya, budayanya. Mereka boleh memeluk kepercayaan apa saja, tetapi tidak pernah meninggalkan budaya leluhurnya. Tentunya, yang dimaksud adalah nilai-nilai luhur dalam budaya leluhur.
Sebab, ada juga nilai-nilai yang bersifat kontekstual, dan barangkali baik untuk suatu masa, tapi sudah tidak relevan lagi. Jadi, seperti yang diingatkan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, nilai-nilai unggulanlah yang perlu dilestarikan. Dalam pengertian nilai-nilai yang tidak pernah kadaluwarsa, nilai-nilai yang tetap relevan dari masa ke masa.
Dalam hal ini, menjadikan orang Chinese sebagai contoh sungguh relevan. Di mana pun mereka berada, kepercayaan apa pun yang mereka anut, saya tidak pernah melihat mereka meninggalkan budaya luhur leluhur mereka. Tidak bisa. Seperti embedded program di dalam diri mereka.
Sementara itu, yang disebut Orang Jawa adalah ‘kita-kita’ yang lupa akan budaya leluhur, bahkan bisa menyepelekannya karena pemahaman sempit kita tentang tradisi baru yang kita anut. Tentunya tidak semua Orang Jawa demikian. Maka, kata ‘kita-kita’ dengan tanda kutip dan huruf miring. Oknum, mereka di antara kita yang demikian, yang melupakan budaya leluhur demi tradisi baru. Sebab itu, tidak heran jika terjadi gesekan di sana-sini. Antara ‘kita’ yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai luhur para leluhur, dan ‘kita’ yang melupakannya.
Konflik yang terjadi adalah antara kita dan kita. Bukan antara kita dan mereka. Konflik ini adalah konflik batin kita sendiri. Terjadi di luar antara kita dan saudara-saudara kita sendiri. Pun terjadi di dalam diri kita masing-masing.
Ketika konflik ini meluas dan melebar, maka yang rugi adalah masyarakat kita sendiri, keluarga besar kita sendiri, bangsa kita sendiri. Dengan memusuhi saudara-saudara sendiri, kita melakukan bunuh diri secara perlahan-lahan. Seperti menyuguhi diri dengan slow poison, secara perlahan tapi pasti mematikan.
Melihat keadaan ini, Orang Belanda – yang mana dalam pepatah ini mewakili setiap warga masyarakat lain yang masih sadar – menjadi bengong, menggeleng-gelengkan kepalanya. Koq bisa ya!
Bisa Menjajah
Syukur-syukur jika reaksi mereka sebatas menggelengkan kepala. Biasanya tidak demikian. Di antara mereka sudah pasti ada juga oknum-oknum yang mengambil kesempatan dari kebodohan kita. Terpecah-belah, tercerai-berai, siapapun bisa menjajah kita. Awalnya menjajah otak kita, gugusan pikiran serta perasaan atau mind kita, dan terakhir merampas segala apa yang kita miliki. Sejarah telah menyaksikan apa yang terjadi ketika kita tercerai-berai, terpecah-belah, dan melupakan nilai-nilai luhur budaya kita sendiri, jati diri kita sendiri.
Secara langsung maupun tidak langsung kitalah yang mengundang penjajah dan menawarkan diri untuk dijajah. Mau mengulangi sejarah yang sama? Sesuatu yang perlu direnungkan, dan direnungkan secara serius.
*Anand Krishna, Humanis Spiritual, Penulis lebih dari 170 buku, Pendiri Anand Ashram (www.anandkrishna.org)
Baca juga Artikel Depresi? Atasi dengan Meditasi
תגובות